A. Pengertian Dan manfaat.
Moral berasal dari kata
Latin ”mores” yang berarti tatacara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap
moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikendalikan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah
peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi angota suatu budaya.
Menurut Piaget
(Sinolungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati
sistem peraturan.
Selanjutnya, Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari.
Selanjutnya, Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari.
Perkembangan moral
merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan
dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku
dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencakup aspek kognitif dan aspek
afektif.
Disamping perilaku moral, ada juga perilaku tak bermoral
yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak
setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan wajib
menyesuaikan diri, perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan
atau pelanggaran terhadap standar kelompok sosialyang disebut sebagai perilaku
amoral atau nonmoral.
Sikap adalah perilaku yang berisi pendapat tentang sesuatu.
Dalam sikap positif tersirat sistem nilai yang dipercayai atau diyakini
kebenarannya. Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercaya, dan dirasakan serta
diwujudkan dalam sikap atau perilaku. Biasanya, nilai bermuatan pengalaman
emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau
masyarakat. Moral merupakan wujud absrak dari nilai-nilai, dan tampil secara
nyata/konkret dalam perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul
dalam praktek moral dengan kategori positif/menerima, netral, atau
negatif/menolak.
Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai moral,
diekspresikan dalam perilaku yang bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai
dan orang di sekitarnya, seperti mau menerima, mendukung, peduli, dan
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Sikap moral yang netral diekspresikan
dalam perilaku sikap tidak memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai yang
ada di masyarakat. Sikap moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku
menolak yang diwarnai emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah,
benci, bermusuhan, dan menentang, terhadap nilai moral yang ada di masyarakat..
Pada sikap dan perilaku
moral tersirat nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan nilai mengenai sesuatu
yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya terjadi. Sikap moral
sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan
seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu dipertahankan, ada yang diasimilasi ke
arah kemajuan atau perubahan progresif, tetapi ada juga yang berubah atau
bergeser karena berbagai faktor yang mempengaruhinya.
B.
Pola
Perkembangan Moral
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia
sekolah, Piaget (Sinolungan, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral
sesuai dengan kajiannya pada aturan dalam permainan anak.
1. Fase
absolut, di mana anak menghayati peraturan sebagai ssesuatu hal yang
mutlak, tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang
tua, guru, anak yang lebih berkuasa).
2. Fase realistis,
di mana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam
permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu
kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama.
3. Fase subjektif,
di mana anak memperhatikan motif atau kesengajaan dalam penilaian perilaku,
anak menaati aturan agar terhindar dari hukuman, kemudian memahami aturan dan
gembira mengembangkan serta menerapkannya
Sedangkan Kohlberg (Gunarsa, 1985) mengemukakan tiga tingkat
dengan enam tahap perkembangan moral yaitu :
1. Tingkat
1: Prakonvensional.
Pada
tingkat ini aturan berisi ukuran moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak
tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas.
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap.
Ø
Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman.
Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan itu ditentukan oleh
adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau
tidak, akan mendapat hukuman.
Ø
Tahap relativistik hedonisme. Pada tahap ini
anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar
dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar
bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan
(relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat
II: Konvensional.
Pada
tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
Ø
Tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada
tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik
atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan
benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima orang lain atau masyarakat.
Ø
Tahap mempertahan-kan norma sosial dan otoritas.
Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat
diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar
dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/nilai sosial yang ada sebagai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat
III: Pasca-konvensional.
Pada
tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.
Ø
Tahap orientasi terhadap perjanjian antara
dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik
antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang mentaati
aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian
hidup bermasyarakat.
Ø
Tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma
pribadi yang bersifat subjektif, ada juga norma
etik (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber
menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Selain
teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang
berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, diperlukan
juga suatu sikap disiplin.
Disiplin
berasal dari kata ”disciple” yang berarti seorang yang belajar dari/atau
secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk
perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok
budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupannya. Disiplin dapat ditanamkan
secara otoriter melalui pengendali-an perilaku dengan menggunakan hukuman,
secara permisif/laissezfaire melalui kebebas-an yang diberikan kepada
anak tanpa adanya hukuman, atau secara demokratis melalui penjelasan, diskusi,
dan penalaran mengenai aturan yang berlaku.
Unsur
yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai beriku :
1.
Peraturan. Peraturan mempunyai nilai pendidikan
tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak, dan juga membantu mengekang
perilaku yang tidak diinginkan.
2.
Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan
kesalahan ataupun bertindak yang tidak sesuai dengan nilai/norma yang berlaku
dalam masyarakat.
3.
Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan
kesalahan ataupun bertindak yang tidak sesuai dengan nilai/norma yang berlaku
dalam masyarakat.
4.
Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan
aturan dan disiplin sehingga tidak membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu
yang benar/salah atau baik/buruk.
C.
FAKTOR
DAN CARA MEMPELAJARI SIKAP MORAL.
Ada sejumlah faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990) yaitu :
Ø Peran
hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila
anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas
tindakan yang harus dilakukan.
Ø Peran
rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang
diharapkan dan melanggar aturan.
Ø Peran
interaksi sosial dalam memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standar perilaku yang disetujui dalam masyarakat, keluarga, sekolah,
dan dalam pergaulan dengan orang lain
Sikap
dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
a. Belajar
melalui coba-ralat (trial and error). Anak mencoba belajar mengetahui
apakah perilakunya sudah memenuhi standar sosial dan persetujuan sosial atau
belum. Bila belum, maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara
kebetulan dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
b. Pendidikan
langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu secara
tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara mematuhi peraturan
yang berlaku dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
c. Identifkasi
dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak sadar
dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang
diidentifikasikan untuk ditiru perilakunya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar